Jumat, 25 Desember 2009

Reinkarnasi

REINKARNASI
Rara namanya dia anak yang cantik, anggun, pintar, kaya-raya, baik hati, dan ceria. Dia anak yang sempurna sangat sempurna, tapi hanya satu kekurangannya yaitu tidak mempunyai tubuh yang sehat. Sekarang dia duduk di kelas enam di bangku sekolah dasar dan kini sedang menghadapi ujian akhir.
Lalu setelah lulus, dia mendapat nilai tertinggi sekabupaten. Dia masuk sekolah yang bernama SMP 2, sekolah terfavorit di wilayah ini. Suatu hari ayahnya memberi sebuah kamar tidur yang diberi nama oleh Rara ialah “Father”.
“Kenapa diberi nama seperti itu?”, tanya ibu
“Karena ayah jarang pulang ke rumah, lagi pula ini adalah hadiah yang sangat berharga bagiku. Karena di dalamnya terdapat mainan, buku-buku, dan juga alat-alat musik yang Rara sukai ma”, jawab Rara dengan girang.
Di sekolah Rara dikenal anak yang ramah dan pintar, tapi baru seminggu Rara bersekolah di sana. Ibunya meninggal karena mengalami kecelakaan lalu-lintas di Surabaya. Setelah pemakaman ibunya yang tercinta, Rara tidak mau pergi sekolah selama sepuluh hari. Selama sepuluh hari itu Rara terus menangis di kamar “Father”-nya. Lama-kelamaan ayahnya bosan mendengar suara tangisan pilu anaknya yang kehilangan ibu kandung tercintanya itu. Sebenarnya ayah juga merasa sedih tapi apa mau dikata yang sudah pergi biarlah pergi karena tak dapat kembali lagi. Dalam pergulatan pikiran tersebut munculah ide dalam benak ayah “Bagaimana kalu ayah menikah lagi!”.
Rara menyetujuinya, kemudian ayah menikah dengan tante Martha cinta pandangan pertama ayah. Dua hari kemudian Rara kembali bersekolah, walaupun kadang-kadang Rara teringat ibunya yang sudah meninggal. Dia berusaha untuk tidak menangis karena dalam benaknya selalu terngiang “Ibumu meninggal karena dia ingin memberimu seorang adik”, jadi ibu tirinya sekarang sedang mengandung. Namun lima bulan kemudian, ternyata anak yang dikandung tante Martha mengalami keguguran. Setelah itu tante tak bisa mempunyai anak lagi. Karena itulah, tante Martha sangat sayang kepada Rara dan menganggap Rara sebagai anaknya sendiri. Tiga minggu kemudian ayah Rara berdinas ke Bandung. Tiba-tiba dua hari setelah itu, ayahnya terserang penyakit jantung dan tak dapat ditolong lagi kemudian meninggal.
Terus dan terus menangis, Rara mengurung diri di kamar pemberian ayahnya. Serasa bila memasuki kamar “Father”-nya seperti sedang dipeluk ayahnya. Pelukan itu sangatlah hangat, pelukan itu melambangkan betapa ayahnya sangatlah menyayanginya.
Sebulan kemudian, Rara masuk sekolah lalu teman-temannya dengan raut wajah khawatir menanyakan keadaannya. Setelah itu meminta maaf ketika mengetahui bahwa ayah Rara telah meninggal. Setelah beberapa hari bersekolah, perubahan sikap Rara muncul kepermukaan. Biasanya dia ceria namun kali ini dia menjadi pendiam dan tadinya sangatlah ramah menjadi pemarah. Karena dia tahu diam-diam beberapa
temannya telah memanfaatkannya. Lalu terjadilah isu atau omongan-omongan yang tak enak didengar telinga khususnya bagi Rara. Misalnya seperti “Rara judes”, “Bawel”, “Jahat”, “mau menangnya sendiri”, dan lain-lain.
Lama-lama Rara jadi tak tahan mendengarnya, juga sikap teman-teman yang mulai menjauhinya. Tiba-tiba dalam suatu pertengkaran “Ehk…”, Rara pingsan. Tubuhnya membentur lantai kelas, kemudian dia dilarikan ke rumah sakit. Tante Martha sedari tadi bolak-balik di ruang tunggu rumah sakit. Dia tak sabar menunggu berita dari dokter tentang keadaan anak tirinya itu. Rara, dia terserang penyakit jantung mendadak. Sejak kejadian itu, sikap Rara mulai berubah. Caranya memandang orang, senyum yang tak nampak di bibirnya yang merah merekah.
Empat minggu kemudian penyakit jantungnya kembali menyerang dan bertambah parah. Namun ada satu hal yang aneh yaitu kelainan pada bagian hatinya. Dokter sendiripun tidak tahu penyakit tersebut dan penyebab penyakit tersebut. Sakit itu bertambah parah, dokter menganjurkan “Sebaiknya Rara pindah sekolah, mungkin lingkungan sekolahnya yang sekarang tidak cocok untuknya”, ibu Rara mengangguk lalu segera melaksanakan anjuran dokter.
Setelah sampai di rumah, ibu menasehati Rara agar mau pindah sekolah. Kemudian Rara menyutujui, dengan berkata “Memang lingkungan sekolah Rara yang sekarang tidak cocok dengan kondisi hati Rara. Apalagi dengan suasana wajah teman-teman ketika menatap Rara”.
Akhirnya Rara pindah sekolah, dia pindah di sekolah sebelah sekolahnya yang dulu. Dia mendapatkan teman sebangku yang bernama Era. Era adalah anak yang baik, ramah, dan juga sabar. Dia orang pertama yang begitu tahu perasaan Rara, walaupun Rara tak pernah menceritakannya kepada Era. Di sekolah ini rata-rata murid-muridnya bersikap cuek, tidak ambil peduli atas kedatangan Rara. Tapi Rara mempunyai teman yang sangat membencinya yaitu Laila. Dia anak yang berprestasi bagus dalam pelajaran, namun ketika Rara datang dia mulai merasa tersaingi.
Suatu hari Rara memerlukan ketenangan untuk berkonsentrasi dalam mengerjakan soal “Era, aku mau tanya. Di mana tempat yang tersembunyi dan tak ada orang sama sekali?”, tanya Rara ketika itu. Wajah Era agak berubah “Di sana, di sebelah laboratorium IPA. Di sana ada pohon yang menutupi benda yang cukup mengerikan di dalam tanah”, jawab Era dengan wajah agak pucat. Rara cuek dengan perkataan temannya yang aneh itu, bergegas dia menuju tempat tersebut. Tiba-tiba,
“Tunggu, jangan kesitu!”
“Kenapa?”
“Di situ berbahaya, yang kumaksudkan sesuatu yang ada di dalam tanah…”, perkataannya terhenti. Kepalanya menunduk, kemudian menatap lekat Rara “Sesuatu itu adalah mayat. Mayat seorang lelaki, dia adalah murid sekolah ini. Dia mati karena digigit ular kobra. Saat ditemukan mayatnya tinggal tulang-belulang tapi ketika diangkat. Tiba-tiba saja, tulangnya masuk kedalam tanah. Kejadian itu sangat aneh, aku juga pertama-tama tak percaya. Namun setelah melihat sendiri, arwah lelaki tersebut yang melayang. Dia selalu berkata “Aku akan membunuhmu”, dengan kepala merunduk”, ucap Era dengan nada sangat meyakinkan
“Terima kasih atas pemberitahuanmu, tapi aku tak percaya dengan hal seperti itu. Kalau memang ada, aku tak takut”, ucap Rara tenang.
Akhirnya Rara nekat juga pergi ke lab IPA, dengan buku fisikanya dia duduk di samping pintu bagian depan lab IPA. Lalu dia mulai belajar dengan serius seperti biasanya. Perlahan-lahan timbul warna cokelat melayang-layang di udara. Membentuk seorang lelaki yang berwajah pucat menatap Rara. Rara diam saja seolah-olah dia tak melihatnya. Bayangan cokelat itu kini sedang duduk di samping Rara sambil terus memperhatikan sosok gadis itu. Keadaan sekitar sepi, bagai sekolah sudah tak ada kegiatan lagi. Di samping kanan adalah dedaunan yang menutupi gerak-gerik Rara. Arwah itu mulai berbicara “Kau tak takut padaku?”, namun Rara tidak angkat bicara “Aku bertanya padamu”, kali ini suaranya lebih keras “Mengapa aku harus takut padamu, sedangkan aku tidak tahu sifatmu!”, seru Rara “Oh, begitu”, arwah itu diam sejenak “Bagaimana kalau kita berteman, supaya kau mengetahui sifatku yang sebenarnya?”. Suara itu sangat dingin, membuat bulu guduk berdiri tegak. Rara merasakannya jelas, tapi kecuali dengan kata teman itu. Terdengar hangat dan ramah, tiba-tiba saja jantung Rara berdegup. Dia terperanjat kaget melihat tampang bayangan cokelat itu. Wajahnya tampak kusut, saat itu mata bayangan tersebut sedang menatap tanah kosong “Baiklah, aku akan jadi temanmu”, kata-kata itu keluar begitu saja dari mulut Rara. Setelah menjawab, ada perasaan aneh yang menyelimuti hati Rara. Perasaan yang tak diketahuinya, tapi rasanya sangatlah menyenangkan. Namun “Aah…”, ringis Rara sambil memegang dadanya “Lepaskan tanganmu, aku akan menyembuhkanmu”
“Kau sebenarnya siapa?”
“Namaku Randi, aku adalah orang yang sudah meninggal. Jadi orang yang sudah mengalami mati itu bisa berbuat apa saja sekehendak hati”
Randi membuka baju Rara dan menyilak kaos dalamnya yang terlihat sekarang hanya pakaian dalam Rara. Randi menyentuh Rara dibagian dadanya, perlahan-lahan Randi menghisap darah Rara melalui jari-jarinya yang dingin. Randi menyentuhnya sampai rasa sakit gadis itu hilang.
Dari hari ke hari, mereka semakin dekat dan akrab.Setiap penyakit Rara kambuh, Randi selalu melakukan hal sama. Semakin sering dia melakukan itu semakin pucatlah wajah Rara. Akhir-akhir ini Rara cepat sekali capek, namun Rara sama sekali tak menyadarinya. Suatu ketika Rara pulang dengan berjalan kaki seperti biasanya. Tak sengaja Rara menabrak seorang lelaki yang sudah setengah baya “Maaf kek, saya tak sengaja”, ucap Rara dengan membungkukkan badannya “Aku tidak apa-apa, hei kenapa wajahmu nak. Mengapa pucat sekali?”
“Ah masa, aku tak merasakannya. Memangnya bapak siapa?”, tanya Rara penasaran.
“Aku adalah paranormal. Ehm…bisa kulihat telapak tangan kirimu”, pinta kakek dengan mengulurkan tangan kanannya. Dengan ragu-ragu Rara mengulurkan tangan kirinya “Wah nak, kau hebat sekali!”, seru kakek kagum “Apanya kek?”
“Kau pasti kenal dengan Randi. Sebaiknya kau menjauhi arwah warna cokelat itu. Sebab dia ingin bermaksud jahat padamu, Randi sedang memanfaatkanmu nak. Dia menyedot darah segarmu. Randi sengaja menawarkan pertemanan kepadamu agar dapat mencelakaimu”, setelah bebicara kakek pergi begitu saja.
Sepanjang jalan Rara hanya memikirkan kejadian yang barusan saja dialaminya. Ada yang memusnahkan sesuatu yang berada di hatinya. Memusnahkan rasa saat pertama kali bertemu dengan Randi, memusnahkan semua perasaan yang dia alami ketika melalui hari bersama Randi.
Setelah sampai rumah ibu menyuruh Rara untuk meminum obat “Ma, apalagi sih ngapain aku meminum obat. Lagian penyakit jantungku sedang tidak kumat”, tolak Rara “Wajahmu pucat sayang, lagian juga penyakitmu belum sembuh benar. Ayo diminum”, ibu menjulurkan tangannya yang sudah memegang obat dan air minum “Tidak!”,tukas Rara.
Semalaman Rara terus memikirkan kejadian tadi, yang ada di benaknya sekarang terngiang-ngiang di pikiran “Teman-temanmu di SMP dulu semuanya membencimu, lalu Laila juga sangat membencimu. Dan teman satu-satunya ingin membunuhmu!”
Esoknya Rara mencari Randi, dia sudah memasrahkan dirinya untuk dibunuh Randi. Ternyata Rara lebih memilih mati dari pada hidup di dunia ini. Mereka bertemu di tempat di mana mereka biasa bertemu “Randi, aku sudah mengetahui maksudmu untuk menjadi temanku”, ucap Rara sambil menatap wajah bayangan cokelat “Bagus, aku tidak menyangka kalau kau sampai menyerahkan dirimu. Sekarang kau sudah tahu dengan sifatku yang sebenarnyakan?”
“Aku masih belum mengetahui sifatmu yang sebenarnya, tapi… Aku ingin kau melanjutkan penghisapan darahku, aku mohon”. Randi segera melakukannya, kemudian dia membuka baju Rara. Gadis itu hanya bisa memejamkan matanya, saat Randi ingin menyentuh dada gadis itu. Waktu terhenti dan
“Siapa yang melakukan ini?”, tanya Randi sambil berteriak
“Aku kobra”
“Kaukan sudah lama menghilang!”, teriak Randi semakin kesal
“Yah dan sekarang aku seperti kamu. Randi, sebenarnya kau sukakan pada cewek ini?”
“Apa maksudmu, aku suka dengan gadis ini. Itu tidak mungkin!”
“Jangan lakukan itu Randi. Karena bila kau membunuhnya, kau tak akan bisa berenkarnasi. Walaupun dia mati, kau tak akan bisa bertemu dengan dirinya lagi”
“Aku tidak peduli!”
“Bohong, sebenarnya kau sangat memudulikannya. Karena kau menyukainya!”
“Tidak, aku sama sekali tidak menyukai gadis berpenyakitan ini”
“Kalau itu perasaanmu yang sebenarnya. Lakukan, hisap darahnya sebanyak yang kau inginkan dan bersiap-siaplah untuk jadi arwah gentayangan untuk selama-lamanya!”. Randi berfikir sejenak, lalu timbul perasaan yang aneh yang sulit dijelaskan. Tiba-tiba saja perasaan enggan untuk membunuh Rara timbul, memenuhi seluruh tubuhnya. Perlahan-lahan bayangan cokelat itu menjauhi Rara dan mulai menghilang.
Waktu berjalan kembali, Rara ditemukan pingsan tanpa baju terbuka sedikitpun. Bajunya Rapih seperti sediakala. Rara kemudian langsung di larikan ke rumah sakit. Ketika sadar, dia menceritakan perihal dirinya kecuali arwah itu. Karena dia hanya ingin menyimpannya sendiri, hanya dia seorang tidak boleh ada orang lain.
Setelah Rara sembuh, dia langsung mencari Randi namun dia sama sekali tak menemukan sosok bayangan cokelatnya itu. Beberapa hari Randi tidak diketemukan Rara. Rara mulai gelisah dan berfikiran yang bukan-bukan. Suatu hari “Randi di mana kamu, apakah kau sudah tak mau bertemu denganku. Aku tak akan memintamu untuk menghisap darahku lagi, aku janji”, dengan nada penuh rasa cemas. Rara bersender di tembok samping pintu, tiba-tiba saja ada seseorang yang memegang pundaknya “Eh…”
“Hai, hantunya sudah tak muncul lagi ya?”
“Ya…”, jawab Rara lemas kemudian dia menatap wajah orang tersebut “Randi…!”, teriak Rara gembira. Setelah mata itu melihat kebawah, Rara merasa heran. Kaki milik Randi menyentuh tanah “Kau masih mengenaliku Rara. Aku telah berenkarnasi, aku sekarang sama persis sepertimu”, dia memang Randi. Hantu yang berwarna cokelat yang selalu menemani Rara ketika pelajaran kosong, ketika istirahat, ketika ingin pulang sekolah, ketika Rara masih di sekolah. Rara merasa senang apa yang telah dikatakan Randi. Apalagi dia sudah tak merasakan bulu guduknya berdiri setiap Randi membuat kata. Randi memperkenalkan kawan yang berdiri di belakangnya “Ini adalah kobra sahabatku. Dia yang telah membantuku berenkarnasi seperti ini agar dapat bertemu denganmu terus. Dia juga sama sepertiku, berenkarnasi”, ucap Randi sambil membuat singgungan senyuman di bibir Rara. Namun senyum di bibir Randi tidak berlangsung lama. Rara pergi untuk selama-lamanya, meninggalkan sebuah senyuman yang manis. Yang telah hilang sejak kedua orang tuanya meninggal. Rara meninggal di pelukan Randi, teman terbaiknya. Sambil mengeluarkan air mata, Randi membawa Rara ke pantai, sayup-sayup terdengar sebuah lirik
Angin…bawalah dirinya kesana
Angin…bahagia hatinya kini
karena telah mendapat teman di sisinya
Oh angin…pantai

Rabu, 23 Desember 2009

Seni Hidup

Seni Hidup

Setiap orang mencari kedamaian dan keharmonisan, karena inilah yang kurang dalam kehidupan kita. Dari saat ke saat kita mengalami kegelisahan, kejengkelan, ke-tidak-harmonisan, penderitaan. Saat seorang gelisah, ia juga menyebarkan penderitaan tersebut kepada orang lain – kegelisahan merembes keluar dari orang yang menderita ke sekelilingnya. Sehingga setiap orang yang berhubungan dengannya ikut menjadi jengkel dan gelisah. Tentu ini bukan cara hidup yang baik.

Seseorang harus hidup damai dengan dirinya sendiri dan juga dengan yang lain. Bagaimanapun manusia adalah makhluk sosial, ia harus hidup dan berhubungan dengan masyarakat. Bagaimana kita bisa hidup damai? Bagaimana tetap harmonis dengan diri sendiri dan juga masyarakat sekitarnya sehingga orang lain bisa hidup damai dan harmonis?

Seseorang gelisah. Untuk keluar dari kegelisahan, ia harus mengetahui alasan dasar atau sebab dari kegelisahannya. Bila ia menyelidiki masalah tersebut, akan jelas bahwa pada saat ia mulai membangkitkan kekotoran dalam batin atau pikiran, ia pasti menjadi gelisah. Pikiran yang tidak murni dan kotor tidak dapat hadir bersamaan dengan kedamaian dan keharmonisan.

Bagaimana seorang membangkitkan kekotoran batin? Sekali lagi, dengan menyelidiki akan menjadi jelas, saya menjadi tidak senang saat melihat seorang bertingkahlaku tidak seperti yang saya inginkan atau sesuatu terjadi tidak sesuai dengan harapan saya. Sesuatu yang tidak diharapkan terjadi dan saya membuat ketegangan dalam diri. Sesuatu yang diinginkan tidak terjadi, karena suatu sebab, lagi-lagi saya membuat ketegangan didalam diri. Dalam hidup ini hal yang tidak diharapkan bisa terjadi, hal yang diharapkan bisa terjadi ataupun tidak, proses atau reaksi mengikat simpul-simpul ‘Gordian-knots ‘ membuat seluruh struktur mental dan jasmani menjadi tegang, penuh kenegatifan, hiduppun menjadi derita.

Satu cara untuk menyelesaikan masalah adalah dengan mengatur hal yang tidak diharapkan agar jangan terjadi dan berusaha agar semua hal terjadi seperti apa yang inginkan. Maka saya harus mengembangkan kekuatan atau saya bersandar pada orang lain yang punya kekuatan yang bisa membantu saya setiap saat sehingga segala sesuatu terjadi atas keinginan saya. Tapi ini tidak mungkin. Tidak ada seorang -pun didunia ini yang keinginannya bisa selalu terpenuhi. Jadi timbul pertanyaan bagaimana saya tidak bereaksi buta terhadap hal-hal yang tidak saya sukai? Bagaimana tidak membuat ketegangan? Bagaimana menjaga tetap damai dan harmonis?

Di India, juga negara lain, para bijaksana telah mempelajari masalah ini – masalah penderitaan manusia – dan menemukan solusinya : Bila sesuatu yang tidak diinginkan terjadi dan seorang mulai bereaksi dengan membangkitkan kemarahan, takut atau kenegatifan apa saja, secepatnya ia harus mengalihkan perhatian-nya ke hal lain. Misalnya , berdiri, mengambil segelas air, mulai minum. Kemarahannya tidak akan diper-banyak dan ia akan keluar dari kemarahan. Atau mulai menghitung: satu, dua dan seterusnya. Atau mengulang sebuah kata, kalimat atau mantra, mungkin nama dewa dewi yang dipercaya, pikiran dialihkan dan anda keluar dari kenegatifan dalam batas tertentu.

Solusi ini membantu. Dengan cara ini batin merasa bebas dari kegelisahan. Tapi sebenarnya solusi ini hanya bekerja pada lapisan sadar. Dengan mengalihkan perhatian ia menekan kenegatifan jauh kedalam bawah-sadar dan pada lapisan ini ( bawah-sadar – Admin ), tanpa ia sadari, ia melanjutkan membangkitkan dan menggandakan kekotoran yang sama. Pada permukaan terdapat lapisan ketenangan dan harmonis, tapi pada kedalaman batin terdapat gunung berapi yang tertidur yang cepat atau lambat akan meletus dengan hebat.

Pencari kebenaran batin lainnya melanjutkan pencariannya dan dengan mengalami realita dari batin-materi dalam dirinya mereka mendapatkan bahwa mengalihkan perhatian hanyalah menghindar dari masalah. Menghindar bukanlah solusi yang baik: orang harus menghadapinya. Saat kekotoran timbul dalam batin, amati saja, hadapi. Kekotoran mental akan segera berkurang secepatnya seorang mengamati-nya. Dengan perlahan kekotoran akan layu dan tercabut.

Solusi yang baik adalah menghindari dua extrim — penekanan atau bereaksi buta. Menekan kekotoran dalam bawah-sadar tidak akan mencabut kekotoran tersebut, membiarkan kekotoran batin menjelma dalam bentuk tindakan fisik atau vokal hanya akan menimbulkan masalah lebih banyak. Tapi bila seorang hanya mengamati, kekotoran akan berlalu dengan sendirinya dan kenegatifan tercabut. Ia bebas dari kekotoran batin.

Ini kedengaran bagus, tapi apakah ini benar-benar praktis? Untuk rata- rata orang apakah mudah menghadapi kekotoran batin? Saat kemarahan timbul, begitu cepat ia menguasai kita sehingga tidak sempat mengenalinya. Dikuasai oleh kemarahan, kita bertindak secara jasmani atau ucapan yang merugikan kita dan orang lain. Kemudian saat amarah telah berlalu, kita mulai menyesal, minta ampun dari orang ini dan itu atau dari Tuhan: Oh saya telah membuat kesalahan, mohon ampuni saya. Tapi saat berikutnya, ketika kita berada dalam situasi yang sama, sekali lagi kita bereaksi dengan cara yang sama. Semua penyesalan itu tidak membantu sama sekali.

Kesulitannya adalah saya tidak menyadari saat kekotoran timbul. Kekotoran dimulai dari jauh didalam bawah-sadar dan saat mencapai pikiran sadar, ia telah mendapatkan kekuatan yang begitu besar yang bisa menguasai saya dan tidak dapat di amati.

Jadi saya harus punya sekretaris pribadi sehingga saat kemarahan timbul, dia akan berkata ‘Lihat Tuan, kemarahan timbul’. Karena saya tidak tahu kapan amarah timbul, saya harus punya tiga sekretaris untuk berjaga bergantian selama 24-jam. Umpama saya mampu, saat amarah timbul dan sekretaris mengatakan: ‘Tuan lihat, kemarahan timbul ‘, hal pertama yang akan saya lakukan adalah menamparnya dan memakinya: ‘Bodoh kamu, Apakah kamu dibayar untuk mengajari aku’? Saya sudah dikuasai oleh kemarahan, tidak ada nasihat yang baik yang bisa membantu.

Meskipun saya tidak menamparnya, saya berkata ‘Terima kasih banyak, sekarang saya harus duduk dan mengamati kemarahanku’. Apakah itu mungkin? Secepatnya mata saya pejamkan dan mengamati kemarahan, segera objek kemarahan masuk kedalam pikiran – orang atau kejadian yang membuatku marah. Jadi saya tidak mengamati kemarahan itu sendiri tapi saya hanya mengamati rangsangan luar dari emosi. Ini hanya akan menggandakan kemarahan. Ini bukan solusi. Adalah sangat sulit untuk mengamati kenegatifan serta emosi yang abstrak, terpisah dari objek luar yang menyebabkannya.

Tapi orang yang telah mencapai kebenaran akhir menemukan solusi yang nyata. Ia mendapatkan saat kekotoran timbul didalam batin secara bersamaan dua hal terjadi pada tingkat fisik. Satu adalah nafas kehilangan irama yang normal. Kita mulai bernafas cepat saat kenegatifan masuk dalam batin. Ini mudah diamati. Pada tingkat yang lebih halus, semacam reaksi biokimia terjadi didalam tubuh – semacam sensasi. Setiap kekotoran akan membangkitkan satu dan lain sensasi pada satu bagian tubuh atau lainnya.

Ini adalah solusi yang praktis. Orang awam tidak bisa mengamati kekotoran batin – ketakutan, kemarahan atau emosi yang abstrak. Tapi dengan latihan dan praktek yang tepat adalah mudah mengamati pernafasan dan sensasi tubuh — keduanya langsung berhubungan dengan kekotoran batin.

Pernafasan dan sensasi akan membantu dalam dua hal. Pertama, mereka akan menjadi seperti ’sekretaris pribadi’. Secepatnya ada kekotoran timbul dalam batin, nafas akan berubah tidak normal. Ia akan teriak ‘Lihat ada yang salah’. Sayapun mulai mengamati nafas dan sensasi dan saya segera mendapatkan kekotoran berlalu.

Fenomena materi-batin ini seperti mata uang dengan dua sisi. Pada satu sisi adalah apapun pikiran atau emosi yang timbul didalam batin. Sisi lainnya adalah nafas dan sensasi dalam tubuh. Setiap pikiran atau emosi, setiap kekotoran mental mewujudkan diri dalam nafas dan sensasi pada saat itu. Jadi dengan mengamati nafas atau sensasi, saya sebetulnya mengamati kekotoran batin. Dari pada menghindari masalah, saya menghadapi kenyataan sebagaimana adanya. Kemudian saya mendapatkan bahwa kekotoran batin kehilangan kekuatannya. Saya tidak lagi bisa dikuasai seperti dulu. Bila saya bertahan, kekotoran akhirnya lenyap dan saya tetap damai dan bahagia.

Dengan cara ini, teknik mengamati diri menunjukkan kepada kita adanya dua aspek yaitu aspek dalam dan aspek luar. Sebelumnya, saya selalu melihat dengan mata terbuka lebar dan melewatkan kebenaran didalam. Saya selalu melihat keluar untuk sebab dari ketidak-bahagiannya, saya selalu menyalahkan dan mencoba merubah realitas diluar tidak mau tahu dengan realita didalam. Saya tidak mengerti bahwa sebab dari penderitaan berada didalam; didalam reaksi buta saya sendiri terhadap sensasi yang menyenangkan dan tidak menyenangkan.

Sekarang dengan berlatih, saya bisa melihat sisi lain dari mata uang. Saya bisa menyadari nafas dan juga apa yang terjadi didalam diri saya. Apapun itu, nafas atau sensasi, saya belajar hanya mengamati tanpa kehilangan keseimbangan batin. Saya berhenti bereaksi, berhenti memperbanyak penderitaan. Saya biarkan kekotoran mewujudkan diri dan berlalu.

Semakin banyak orang berlatih teknik ini, semakin cepat ia keluar dari kenegatifan. Secara berangsur batin / pikiran keluar dari kekotoran dan menjadi murni. Batin yang murni selalu penuh dengan cinta tanpa pamrih untuk semuanya, penuh belas kasih untuk penderitaan orang lain, penuh kegembiraan atas sukses dan kebahagiaan yang lain, penuh keseimbangan dalam menghadapi segala situasi.

Saat seorang mencapai tahap ini, seluruh pola kehidupannya mulai berubah. Tak mungkin lagi ia mela – kukan tindakan fisik atau vokal yang mengganggu kedamaian serta kebahagiaan orang lain. Sebaliknya batin yang seimbang tidak saja membuatnya damai, tapi juga membantu orang lain menjadi damai. Kedamaian serta keharmonisan yang terpancar dari orang tersebut akan mempengaruhi orang disekelilingnya.

Dengan belajar tetap seimbang dalam menghadapi semuanya yang dialami dalam tubuhnya, ia tidak terpengaruh lagi terhadap semuanya yang ia jumpai dalam situasi diluar. Bagaimanapun ini bukanlah malarikan diri atau tak peduli terhadap masalah duniawi. Seorang pemeditasi Vipassana menjadi lebih perasa terhadap penderitaan orang lain, dan berusaha sebisanya untuk meringankan penderitaan – tidak dengan kegelisahan tapi dengan batin yang penuh cinta, belas kasih dan seimbang. Ia belajar pengabadian suci bagaimana terlibat penuh dalam membantu orang lain dan menjaga batinnya tetap seimbang. Dengan cara ini ia tetap damai dan bahagia sewaktu bekerja untuk kedamaian dan kebahagiaan orang lain.

Inilah yang diajarkan oleh Sang Buddha : suatu Seni Hidup. Beliau tidak pernah membentuk atau mengajarkan suatu agama ( seperti yang kebanyakan orang pahami – Admin ) atau aliran. Beliau tidak pernah memerintahkan pengikutnya melakukan tata cara atau upacara formalitas kosong atau buta. Sebaliknya beliau hanya mengajarkan mengamati alam sebagaimana adanya dengan mengamati realita di dalam tubuh. Karena ketidaktahuan, seorang selalu bereaksi yang membahayakan dirinya dan juga orang lain. Tapi saat kebijaksanaan timbul – kebijaksanaan dari mengamati realita sebagai mana adanya – ia keluar dari kebiasaan bereaksi ini. Saat seorang berhenti bereaksi secara buta, ia mampu bertindak benar – tindakan yang keluar dari batin yang seimbang, batin yang melihat dan mengerti kebenaran. Tindakan demikian hanya bisa positif, kreatif, membantu dirinya dan juga orang lain.

Apa yang perlu sekarang adalah mengenal diri sendiri – demikian nasihat para bijaksana. Seorang harus mengenal diri sendiri tidak hanya pada tingkat intelek, emosi ataupun kebaktian, menerima secara buta apa yang didengar atau dibaca. Pengetahuan yang demikian tidak cukup. Seorang harus mengenal realita pada tingkat kenyataan. Seorang harus mengalami langsung realita dari fenomena materi-batin ini. Hanya ini yang akan membantu kita keluar dari penderitaan.

Pengalaman langsung atas realita dalam dirinya, teknik mengamati diri sendiri inilah yang disebut ‘Meditasi Vipassana’.Dalam bahasa India pada masa Sang Buddha, passana berarti melihat dengan mata terbuka, vipassana adalah mengamati sesuatu sebagai mana adanya, tidak sebagai apa yang terlihat. Kebenaran yang terlihat harus ditembus sampai seorang mencapai kebenaran akhir dari seluruh struktur materi-batin. Saat seorang mengalami kebenaran ini, ia akan berhenti bereaksi secara buta, menghentikan pembuatan kekotoran – dan secara alami, kekotoran yang lama akan berangsur tercabut. Ia keluar dari semua penderitaan dan merasakan kebahagiaan.

Ada tiga tahapan dalam Kursus Meditasi Vipassana. Pertama tidak melakukan tindakan fisik atau ucapan yang mengganggu kedamaian serta keharmonisan orang lain. Seseorang tidak bisa membebaskan kekotoran batinnya bila ia terus melakukan perbuatan yang hanya memperbanyak kekotoran. Jadi aturan moral ini adalah penting sebagai tahap awal dari latihan. Kemudian seorang berjanji tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berhubungan sex, tidak berbohong, tidak mabuk. Dengan mematuhi aturan tersebut diatas, seorang bisa menenangkan batinnya untuk melakukan tugas-tugas selanjutnya.

Tahap berikutnya adalah mengembangkan penguasaan atas pikiran yang liar dengan melatih untuk tetap pada satu objek: nafas mengarahkan perhatian pada nafas selama mungkin. Ini bukanlah latihan pernafasan, nafas tidak diatur, sebaliknya nafas yang alami diamati sebagaimana adanya sewaktu nafas masuk dan keluar. Dengan cara ini pikiran ditenangkan sehingga tidak dikuasai oleh kenegatifan yang kuat. Pada waktu yang sama, pikiran dipusatkan, membuatnya menjadi tajam dan menembus, berguna untuk usaha pencerahan.

Dua tahapan pertama, kehidupan yang bermoral dan penguasaan pikiran, adalah perlu dan bermanfaat. Tapi itu akan membawa pada penekanan diri, kecuali mengambil tahap ketiga – memurnikan pikiran dengan mengembangkan pencerahan kedalam diri. Ini adalah vipassana: mengalami realita diri sendiri melalui pengamatan yang tenang dan sistimatis dari fenomena materi-batin yang selalu berubah yang terwujud sebagai sensasi yang timbul dalam tubuh. Ini adalah puncak dari ajaran Sang Buddha : pemurnian diri melalui pengamatan diri.

Ini bisa dilakukan oleh semua orang. Setiap orang mengalami penderitaan, itu adalah penyakit universal yang memerlukan pengobatan universal. Bila seorang menderita karena kemarahan, itu bukan kemarahan milik Buddhis, Hindu atau Kristen. Kemarahan adalah kemarahan universal. Obat-nya pun harus universal.

Vipassana adalah obatnya. Tak akan ada yang keberatan dengan aturan yang menghormati kedamaian dan keharmonisan orang lain. Tak ada yang keberatan dengan pengembangan kontrol terhadap pikiran, mengembangkan pencerahan kedalam diri, yang membebaskan pikiran dari kenegatifan.

Vipassana adalah jalan universal yang mengamati realita sebagai mana adanya melalui pengamatan kebenaran dalam tubuh – ini adalah mengenal diri sendiri pada tingkat kenyataan dengan mengalami secara langsung. Dengan berlatih seorang keluar dari penderitaan. Dari kebenaran yang kasar, diluar dan kasat mata, menembus sampai kebenaran akhir dari materi-batin, dibalik ruang dan waktu, bidang yang terkondisi dari kenisbian: kebenaran dari pembebasan total atas semua kekotoran, semua ketidak murnian, semua penderitaan. Nama apapun yang diberikan pada kebenaran ini tidak penting. Ini adalah tujuan akhir dari semua orang.

Semoga kalian semua mengalami kebenaran akhir ini. Semoga semua orang keluar dari kekotorannya, penderitaannya. Semoga mereka menikmati kebahagiaan sejati, kedamaian sejati, keharmonisan sejati.

SEMOGA SEMUA MAHLUK BERBAHAGIA

Minggu, 20 Desember 2009

Gelora Cinta Seorang Gadis

Seusai memberi salam hatiku tak tertanggung lagi. Pantas aku bangkit, meninggalkan lompang antara saf. Aku melangkah tergesa, segera meninggalkan musolla yang dingin dan damai, tak seperti hatiku yang bergelora panas.

Suara zikir yang mengganggu naluriku semakin sayup kedengaran. Air mataku tumpah deras. Kuketap bibir, tertahan-tahan sendu yang bisa saja menarik perhatian. Langkahku terus mantap menuju kamar.

Aku hempaskan punggung di birai katil. Aku menangis sepuas hati. Untung saja teman-teman sebilik tidak ada, jika tidak banyak pula persoalannya. Telekung putihku lencun dengan air mata. Aku benar-benar bagai di siksa walau tiada kelihatan segaris pun luka.

Entah berapa lama, tangisku mulai reda. Ku ucap istighfar berulangkali, di bibir dan di hati. Segera ku kesat wajah berbekas air mata. Ku pandang jam dinding menunjukkan angka lapan. Ku gumam istighfar dan ta’awudz silih berganti. Ya Allah, ampunkanlah hamba-Mu yang dhaif dan hina ini kerana terlalu mengikut hati dan perasaan. Hati ku terus memohon keampunan atas keterlanjuran yang pasti tipu daya syaitan.

Aku lucutkan telekung dari tubuh. Pantas menuju bilik air untuk berwuduk. Aku perlu memperbaharui solat maghrib yang tidak sempurna khusyuk angkara debaran dada yang mengganggu.

Entah sejak bila bermula. Ada keanehan mengalir dalam diri bila berdepan dengannya. Wajah redupnya menarik pandangan dan lembut tutur katanya mempesona pendengaran. Fikiran jadi kacau. Jiwa dirantai sejuta perasaan.

Memandangnya walau sekilas bagai satu mukjizat. Suara, perwatakan bahkan langkah yang diatur mengkaku tiap pancaindera. Minda terus-menerus diburu gambaran wajahnya. Hati tak berhenti melakar namanya. Subhanallah, apakah yang melanda diriku? Apakah ini namanya cinta? Bagaimana caranya untuk ku menanganinya? Ya Allah, kasihanilah hamba-Mu yang lemah ini, berikanlah petunjuk dan hidayah-Mu.

Aku tak pernah mengenal cinta selain cinta Ilahi. Bisikan Umi sejak dalam rahim. Ajaran Abi dari usia satu hari.

Tiba-tiba perasaan ini hadir menggugah cinta didikan Abi dan Umi. Salahkah perasaan ini? Aku dibelenggu pertanyaan. Terus dalam keraguan. Perlukah dilestarikan cinta? Apakah itu bermakna aku berpaling dari cinta-Nya, mengkhianat dan berdusta?

‘Perasaan cinta itu memang fitrah, fitrah manusia yang telah ditentukan Allah s.w.t. seperti firman Allah dalam Surah Asy-Syams, ayat 8 hingga 10, yang bermaksud ‘maka Allah mengilhamkan pada jiwa itu jalan kefasikan dan dan ketakwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya’. Jelas di sini fitrah yang ditetapkan Allah dalam diri manusia terbahagi kepada dua jalan yang perlu dipilih, kefasikan atau ketakwaan,’ suara Ustaz Rizal bergema di ingatan. Ustaz muda berjanggut pandak itu memang sentiasa menarik pendengaran pelajar dengan intonasi suara yang berbeza dan kiasan bahasa yang pelbagai dalam setiap sesi kuliah maghrib yang kelolaannya. Ceramah yang hampir setahun berlalu ketika aku masih di alam persekolahan sebelum menjejak dunia kampus yang penuh pancaroba, seakan-seakan memberiku peringatan.

Adakah perasaan ini cinta yang fitrah ada pada setiap remaja yang menginjak dewasa? Apakah ia jalan ketakwaan? Atau jalan kefasikan? Mungkinkah keuntungan yang akan ku capai atau kerugian yang bakal ku tanggung? Soalan demi soalan menguji hati dan mindaku.

‘Sesungguhnya kekuatan dalam melawan fitrah ke arah kefasikan menunjukkan kekuatan iman seseorang mukmin. Nabi Muhammad s.a.w. pernah bersabda bahawa ‘Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah’. Maka jadilah mukmin yang kuat untuk memperoleh cinta dan kasih-sayang Allah yang Maha Agung,’ suara Ustaz Rizal terus merangsang pemikiranku.

Kuatkah aku melawan perasaan? Membunuh rasa cinta yang semakin mekar berbunga? Apakah aku lemah andai ku biar ia subur menghuni hati? Kurangkah cinta Tuhanku yang selama ini indah ku kecapi? Mampukah aku kehilangan cinta hakiki Ilahi demi cinta ini? Antara dua cinta aku menjadi buntu sama sekali.

Memang aku penggemar cerita sufi. Tapi tiada niatku meniru Rabiah Al-Adawiyah. Sungguh aku takjub dengan cinta Siti Zulaikha. Tapi tidak terdetik dikalbu menagih cinta seorang pun jejaka. Namun, sesungguhnya aku mengagumi Siti Maryam, begitu sabar dan tabah biar diuji dugaan yang tak tertanggung oleh mana-mana gadis pun sepanjang zaman dan tempat. Namun, istimewanya dia gadis suci yang wara’ yakin dengan janji-janji Tuhannya.

Barangkali ini ujian Tuhan menduga iman hamba-Nya. Bukankah di dalam Al-quran, Allah ada berfirman ‘Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan Kami telah beriman sementara mereka tidak diuji?’( Al-Ankabut ayat 2 ). Bukankah ujian yang ditimpa Tuhan adalah petunjuk cinta-Nya kepada hamba? Bukankah setiap kali ditimpa bencana, hamba yang beriman akan meminta dan memohon bantuan-Nya? Bukankah Allah suka mendengar suara rayuan dan rintihan itu? Allahuakbar, jika benar ini ujian-Mu, berikanlah kekuatan agar aku teguh di atas jalan-Mu.

Aku tak mungkin menjadi Siti Maryam kerana aku sendiri gagal mempertahankan kesucian hati. Hatiku ternoda dengan kemaksiatan bila terkenang pada sesuatu yang tidak halal bagiku. Hatiku tidak khusyu’ dalam mendamba cinta-Nya kerana dalam waktu yang sama mengharap cinta makhluk-Nya. Ya Allah, kau redakanlah gelora perasaan ini kerana sepertinya aku seakan lemas dalam pukulan ombak ganasnya.

Pernahkah mendengar kisah pemuda yang kelaparan lalu makan epal yang hanyut di bawa air sungai yang mengalir? Lalu pemuda jujur itu menjejak pemilik buah epal untuk meminta maaf di atas dosa memakan epal tanpa keizinan dan sanggup melakukan apa saja demi menebus kesalahannya itu. Pemilik epal lantas meminta pemuda itu bekerja di ladang epalnya untuk sekian-sekian waktu. Pemuda itu lantas bersetuju dan bekerja dengan rajin dan amanah. Setelah sampai waktu akhirnya, pemilik epal memberikan satu lagi tugasan sebelum menghalalkan epal yang telah dimakan pemuda itu.

Kata pemilik epal ‘Aku mahu engkau mengahwini anak perempuanku yang buta matanya, tuli pendengarannya, bisu mulutnya dan cacat anggotanya,’

Pemuda itu tentu saja tergamam dengan permintaan pemilik epal tadi. Tapi kerana sifat jujur dan amanahnya, dia setuju untuk melaksanakan perkahwinan itu asal saja epal yang telah dimakannya dulu dihalalkan dan kemaafan pemilik epal diperoleh.

Tentu saja bukan sikap amanah pemuda itu menarik hatiku saat ini kerana sesungguhnya aku cemburu pada anak pemilik epal itu. Bukan kerana bakal memiliki suami yang soleh dan beriman tapi kerana anak perempuan pemilik epal itu tidak buta, tuli, bisu mahupun cacat bahkan dia gadis sempurna yang sungguh jelita. Cantik luar dan dalaman.

Pemilik epal terpaut kepada peribadi mulia si pemuda lantas mahu menjadikannya suami kepada anak gadisnya yang matanya tak pernah menatap lelaki selain ayahnya, telinganya tak pernah mendengar sesuatu yang dusta, mulutnya tak pernah mengeluarkan bicara yang sia-sia dan anggota tubuhnya tak pernah melakukan maksiat. Aku cemburu dengan kesucian gadis itu. Gadis yang ku kira wajar menjadi idola bagi setiap pencinta kesucian.

Air mataku menitis buat kesekian kali. Terlalu jauh aku dari gadis itu. Terlalu beza aku dibandingkan gadis itu. Ya Allah, walaupun cuma satu peratus atau kurang dari itu, kurniakanlah aku kesucian seperti gadis itu. Ya Allah, aku sedar ya Allah betapa kotornya aku, maka bantulah aku membersihkan diri.

Aku mencari setiap peluang dan ruang membawa aku jauh dari perasaan itu. Aku tidak lagi hadir solat berjemaah di musolla demi menghindar dari mendengar kesyahduan bacaannya mengimami solat-solat fardhu. Ia membuah persoalan pada teman-teman. Aku cuma tersenyum, tidak sanggup rasanya mengakui hakikat sebenarnya. Sekadar menunjukkan hadis Nabi s.a.w. yang berbunyi ‘Sesungguhnya sembahyang seseorang wanita itu lebih baik di kamarnya daripada sembahyang di masjid kaumnya, dan sembahyang di masjid kaumnya adalah lebih baik dari sembahyang di masjid berjemaah’. Malah akhirnya aku tekad untuk tidak lagi menginap di kolej kediaman semata-mata menjaga pancaindera dari terus mendepaninya.

Walaubagaimanapun dia masih menghiasi hari-hari ku di fakulti. Ada beberapa tugasan yang memerlukan kami berkomunikasi. Aku cuba menjadikannya seminimal mungkin. Aku sedaya-upaya menjauhkan diri. Tingkahku kadang-kala seperti membenci. Aku tak mahu melukakan hati sesiapa tapi murka Allah lebih perlu ku jaga.

Perasaan itu adakala memudar. Tapi kadang-kadang begitu mencengkam sanubari. Aku tegar mendekati Tuhan. Malam-malam ku hiasi dengan pujuk rayu, memohon tanpa henti diberi kekuatan melawan perasaan. Aku makin rajin hanyut dalam kalamullah, Al-Furqan benar-benar penawar hati yang mustajab. Dalam keasyikan menghayati keindahan dalam pembacaan, aku jadi leka seketika dari zikir tentangnya. Zikir yang aku sendiri tak mahu mengungkapnya tapi hadir tanpa rela.

Bila waktu perasaan itu benar-benar menduga, adakala aku mengharap amat dia memulakan langkah pertama. Aku berharap dia juga punya perasaan sepertiku. Aku harap ada hubungan menjalin perasaan itu. Aku harap cinta itu mekar dan saling berpadu. Malahan adakala kutitip dalam doa di kala dinihari.

Ada ketika, bila dia melintas di depan mata aku berharap dia berhenti, menatap wajahku dan mengungkap kalimah keramat yang sangat ku rindu. Aku berharap di menggenggam tanganku dan bawa aku melestarikan cinta berdua.

Tapi itu cuma harapan. Dia tidak pernah menjelingku walau sekilas. Aku juga tak mahu begitu. Aku cuma mengharap kerana perasaan itu begitu mendesak. Namun tangisku akan panjang setelah itu. Rasa kesal mendalam kerana cinta Tuhan yang patut ku damba, bekhalwat dengan-Nya yang wajar ku impi, menggapai kasih-Nya yang mesti ku rindu. Betapa hitam hatiku hingga tidak mengenal apa yang utama. Ya Allah, aku pohon Engkau menghapuskan ingatan ku padanya, tak sanggup aku menanggung tompokan hitam yang begitu memberat di kalbu.

Kadang-kala aku resah kenapa tidak dia meluahkan perasaan padaku. Atau pada sesiapa jua. Aku pasti satu perkara, ketinggian peribadinya yang menjerat perasaanku. Andai dia melencong arah, pasti perasaan ini kian memudar dan akhirnya hilang. Mengapa dia begitu sempurna sebagai manusia? Ya Allah, benar-benar ciptaan-Mu ini merupakan ujian bagiku, oleh itu aku mohon kekuatan dari-Mu.

Lebih empat tahun aku mengekang perasaan. Segalanya telah kulakukan demi mengekalkan kesucian dalam jiwa. Tinggal saja aku tak sanggup menukar jurusan yang ku pilih kerana minat mendalam yang tak mungkin ku singkir.

Aku berpegang pada janji Allah. Dalam Surah An-Nur, ayat 26; bermaksud ‘wanita-wanita yang keji diperuntukkan untuk lelaki yang keji. Dan lelaki yang keji diperuntukkan untuk wanita yang keji pula, dan wanita yang baik diperuntukkan bagi lelaki yang baik, dan lelaki yang baik diperuntukkan bagi wanita yang baik pula’. Aku yakin aku akan menemui pemilik tulang rusuk yang darinya aku dicipta. Aku pasti telah tertulis di luh mahfuz namanya. Bukan aku menyerah takdir tapi aku benar-benar yakin kepada-Nya.

Cuma sabda Nabi s.a.w. ‘Apabila seseorang hamba telah berkeluarga, bererti dia telah menyempurnakan separuh daripada agamanya. Maka takutlah kepada Allah terhadap separuh yang lain’. Begitu juga sabda bagindaPerkahwinan itu sunnahku. Sesiapa yang menolak sunnahku, maka dia bukan dari kalanganku’. Aku mahu menyempurnakan agama serta mengikut sunnah Rasulullah s.a.w.

Perasaan itu ada pasang-surutnya. Namun tak pernah mati. Aku juga makin mengerti akan makna kehadiran perasaan itu. Perasaan itu sama sekali bagai anugerah kurniaan Ilahi. Ujian yang membawa keteguhan hati dan iman. Tiap kali aku berjaya melawan godaan perasaan, semakin mantap keyakinan dan keimananku pada Ilahi. Sesungguhnya Allah tak pernah menjanjikan jalan yang mudah bagi orang-orang yang beriman tapi Allah berjanji akan sentiasa di sisi menemani perjuangan hamba-hamba-Nya yang yakin dengan janji-janji-Nya.

Masa berlalu pantas. Aku bakal meninggalkan perkarangan taman ilmu yang telah banyak menjadi saksi perjuanganku menjaga kesucian hati. Aku tahu aku bakal melangkah dunia luar yang lebih banyak onak duri merintangi. Ya Allah, tetapkanlah langkahku atas jalan-Mu.

“Sesungguhnya aku sudah lama tertawan padamu. Sesungguhnya sudah sekian waktu cintaku bersemi buatmu. Sesungguhnya namamu telah terpahat kukuh dan bertakhta di hati. Tapi demi kesucian hubungan yang ingin aku lestarikan, aku pendam perasaan itu jauh di lubuk hati, aku simpan rapi tanpa sebarang noda. Sesungguhnya memang tekadku menyunting mu sebagai suri hidupku dalam ikatan yang suci. Demi cinta yang ku pelihara kesucian buat sekian lama, demi Tuhan yang menganugerahkan cinta ini, sudikah engkau menerima ku sebagai suami mu? Lelaki yang harta dan maruahnya adalah amanahmu serta lelaki yang padanya terletak maruah dan syurga mu,”

Air mata ku menitis, tak mampu lagi berkolam di tubir mata. Wajah redupnya kutatap. Suara lembutnya menusuk sukma. Sinar matanya membuah syahdu. Dia mengukir senyuman mempesona jiwa raga. Perlahan jari-jemarinya menyentuh wajahku, menyapu air mata mengalir di pipi. Aku tunduk, menahan getar dalam kalbu.

Aku bersyukur dia tak pernah meluahkan isi hatinya. Aku bersyukur aku tegar menongkah arus perasaan. Aku takjub kerana kekuasaan Allah di luar batas kemampuan insan. Aku takjub kerana kesabaran menempuh ujian dibalas nikmat yang sungguh mengasyikkan. Aku bersyukur dan takjub bahawa aku kini isteri yang sah kepada lelaki yang sekian lama ku menaruh cinta. Aku bersyukur memiliki cintanya tanpa menggadai cinta Ilahi. Aku takjub dengan keajaiban cinta. Aku akhirnya bisa merai cinta setelah sekian lama.

Hari konvokesyen adalah hari yang dinanti-nanti setiap insan yang bergelar mahasisiwa. Sejak melangkah ke menara gading, aku tak pernah berhenti membayangkan hari konvokesyen yang gilang-gemilang yang bakal aku hadiri sebagai seorang siswazah. Hari itu pasti mengukir sejarah manis dalam diari setiap insan yang melaluinya. Siapa sangka pada hari itu aku menerima lafaz keramat yang selama ini ku nanti.

“Saya...saya.....sudikah awak menjadi isteri saya?” aku disunting dalam barisan beratur menunggu giliran untuk naik ke pentas. Wajahku merona merah, jantungku yang dari tadi berdegup kencang kerana terpaksa berada di hadapannya dalam barisan itu semakin dipalu-palu rasanya. Aku diam. Hilang punca untuk berbicara.

“Saya anggap diam tanda setuju. Insya-Allah, dalam minggu depan ibu bapa saya akan bertandang ke rumah awak. Awak tak perlu risau, saya sudah mempunyai pekerjaan dan pendapatan yang tetap,” lancar bicaranya. Lidah ku kelu sama sekali. Tentu sekali tidak menyangka ada sejarah lain yang bakal terukir dalam memoriku hari ini selain majlis konvokesyen yang penuh berprestij.

Aku tak tahu apa perasaanku saat ini. Segala bercampur-baur tidak menentu. Aku bimbang hilang konsentrasi sedang aku bakal naik ke pentas dalam beberapa minit lagi.

Aku mengosongkan minda kecuali bergumam di ruang fikiran, ‘janji Allah itu pasti’.